Kamis, 28 Juni 2012

TUTURAN RITUAL KEO RADO PADA MATA GOLO ETNIK BAJAWA NGADA FLORES NUSA TENGGARA TIMUR

Abstrak
Agama berhubungan erat dengan ritual karena ritual itu sesungguhnya merupakan bagian dari perilaku beragama (Dhavamony,1995: 167). Nilai religius merupakan hal pokok atau inti dari kehidupan beragama. Masyarakat etnis Bajawa memandang kematian sebagai ’Dewa da Enga atau Nitu da Niu’. Dewa adalah kekuatan di atas yang baik (Dewa Zeta) yang memberi kehidupan dan kematian. Nitu adalah kekuatan di bawah yang jahat (Nitu zale) yang bisa mencabut nyawa manusia secara paksa.  Mata Golo merupakan mati yang tidak wajar akibat kecelakaan, bunuh diri atau dibunuh. Masyarakat percaya bahwa adat merupakan warisan nenek moyang yang tidak dapat diabaikan. Tuturan ritual keo rado pada mata golo mengandung nilai dan makna. Nilai tersebut antara lain, religius ( pemujaan, penghormatan), nilai penghormatan, nilai keselamatan, nilai persaudaraan dan  nilai kesakitan, sedangkan makna yaitu, makna sosial dan makna budaya.
Kata Kunci
Ritual, mata golo, keo rado
PENDAHULUAN
Keanekaragaman suku, bangsa, agama, budaya, dan bahasa merupakan kekayaan bangsa yang perlu dikelolah dan dikaji. Melalui bahasa, kebudayaan suatu bangsa dapat dapat dibina, dibentuk dan dikembangkan serta dapat diturunkan kepada generasi mendatang.  Ia memungkinkan tiap orang untuk mempelajari kebiasaan, adat istiadat, kebudayaan, serta latar belakangnya masing-masing ( Keraf, 2004: 1). Dengan bahasa kita dapat mengembangkan kepribadian dan nilai-nilai sosial kepada tingkat yang lebih tinggi dan apa yang biasa dipakai oleh masyarakat umum. Selain itu, Palmer (2003:9-10) menegaskan bahwa tidak ada satupun media yang dapat melampaui bahasa dalam kelenturan dan kekuatan komunikatif. Bahasa dapat menerjemahkan nilai dan norma, skema kognitif manusia, persepsi, sikap, kepercayaan manusia tentang dunia para pendukungnya (Liliweri,2004 : 120).
Bahasa mempunyai fungsi yaitu sebagai alat komunikasi verbal dalam kehidupan sehari-hari, di samping sebagai suatu unsur kebudayaan terutama dalam kegiatan ritual. Pemakaian bahasa ritual dalam masyarakat di tanah ulayat menggambarkan aspek budaya. Sebagai bagian dari kebudayaan, tuturan ritual mengandung nilai budaya masyarakat pemiliknya. Nilai budaya yang terkandung dalam tuturan ritual perlu dipahami melalui penulisan dan kajian yang cermat dan mendalam.
Etnis Bajawa atau Bhajawa adalah satu dari satu etnis yang mendiami Kabupaten Ngada di Pulau Flores bagian tengah Provinsi Nusa Tenggara Timur. Etnis ini memiliki latar belakang sosial budaya yang berbeda. Adat istiadat, kebiasaan dan bahasa sangat berlainan. Dalam kalangan masyarakat etnis Bhajawa hingga kini masih hidup sejumlah upacara /ritual tradisional yang berkaitan dengan siklus kehidupan manusia sejak lahir sampai meninggal. Ritual-ritual tersebut anatara lain ritual kelahiran, kematian, membuka lahan baru, perkawinan, panen hasil, membuat rumah adat dan lain-lain yang tidak dapat disebut secara keseluruhan.
            Dari beberapa ritual tersebut yang dibicarakan dalam tulisan ini adalah ritual kematian. Etnik Bajawa memandang kematian sebagai ’Dewa da Enga atau Nitu da Niu’. Dewa adalah kekuatan di atas yang baik (Dewa Zeta) yang memberi kehidupan dan kematian. Nitu adalah kekuatan di bawah yang jahat (Nitu zale) yang bisa mencabut nyawa manusia secara paksa. Karena itu di kalangan masyarakat Bajawa ada dua jenis kematian.
1)  Mata Ade: Mati yang wajar karena penyakit medis; dan 2)  Mata Golo : Mati yang tidak wajar akibat kecelakaan, bunuh diri atau dibunuh http://www.facebook.com/note.php?note_id).           Masyarakat percaya bahwa adat merupakan warisan nenek moyang yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Adat merupakan peraturan yang dipakai untuk mengatur relasi antara manusia dengan wujud tertinggi (Tuhan) juga antara manusia dengan manusia bahkan antara manusia dengan lingkungannya.
Sehubungan dengan hal tersebut bahasa sebagai wahana pengungkap jati diri dan budaya suatu etnik dalam banyak upacara adat, bahasa daerah biasanya menjadi alat tutur utama. Bahasa daerah yang digunakan dalam upacara-upacara adat biasanya bersifat unik dan menarik. Makna diartikan sebagai suatu yang melekat pada sesuatu yang diartikannya, yang mana dapat berupa pesan-pesan baik verbal maupun non verbal, dan pada dasarnya makna itu terdapat dalam diri manusia (De vito).
Tuturan-tuturan adat itu pada hakikatnya tidak dituturkan sebagai alat komunikasi dalam kehidupan sehari-hari, tetapi dituturkan secara khusus pada ritual adat. Tuturan ritual keo rado merupakan upacara atau ritus keselamatan bagi orang yang mati tidak wajar (mata golo) juga keselamatan bagi anggota keluarga yang ditinggalkan agar mereka tidak mengalami musibah yang sama. Ritus ini dibuat untuk membasmi setan yang dalam bahasa setempat disebut polo.
Tradisi ritual keo rado menjadi bagian dari proses komunikasi yang memiliki manfaat sehingga dalam pelaksanaannya upacara keo rado dapat berjalan dengan baik. Kegiatan ini harus dilakukan sebagai bagian dari tradisi masyarakat etnik Bajawa yang ada kaitan dengan keagamaan, namun dapat juga dijadikan sebagai jembatan komunikasi serta pewaris budaya yang merupakan proses penerus budaya dari generasi ke generasi berikutnya. Berdasarkan tujuan utama ini, keluarga atau orang yang mengalami bencana mata golo percaya bahwa peristiwa serupa tidak terulang. Kematian ini biasanya diakibatkan oleh peristiwa seperti pembunuhan, kecelakaan lalu lintas ataupun bunuh diri. Sebagaimana halnya setiap kematian adalah suatu kehilangan yang menyedihkan bagi kaum keluarga yang ditinggalkan, demikian pula mata golo bukan saja menyedihkan tetapi juga menjadi suatu malapetaka bagi keluarga yang ditinggalkan.
            Berdasarkan paparan tersebut, maka yang akan dibahas dalam pemaparan ini adalah makna dan nilai-nilai yang terkandung dalam tuturan ritual keo rado pada mata golo  etnik Bajawa Ngada Flores Nusa Tenggara Timur.
PEMBAHASAN
2.1 Ritual Keo Rado pada Mata Golo
2.1.1 Ritual Keo Rado
            Ritual sebagai bagian dari peristiwa wicara merupakan suatu tata cara berbahasa lisan formal dalam konteks seremoni ritual (Fox, 1986). Bahasa yang digunakan dalam konteks sosial budaya tertentu, misalnya dalam ritual keadatan, mengemban tujuan tertentu dan merupakan sumber budaya. Sumber budaya itu digunakan dan dimaknai secara kontekstual oleh guyub tutur dan guyub kultur itu di dalam kehidupan bersama, antara lain demi penerusan budaya antargenerasi.
Ritual Keo Rado merupakan ritual keselamatan bagi jiwa orang yang mati tidak wajar yang dalam bahasa setempat disebut mata golo dan keselamatan bagi anggota keluarga yang ditinggalkan agar mereka tidak mengalami musibah yang sama. Selain itu  ritual ini diciptakan untuk membasmi setan yang dalam bahasa setempat disebut polo.
Keo rado berasal dari bahasa Bajawa, keo ‘bunuh’ dan rado ‘tikam’. Dalam upacara adat arti keo rado yang biasa digunakan  adalah keo mona zezo, pasa bhago sala yang artinya tikam setan tepat sasarannya berkaitan dengan mata golo. Kata rado merujuk pada tindakan membuang semua yang jahat atau buruk yang menyebabkan seseorang mati tidak wajar (mata golo).
Dengan demikian ritual Keo rado adalah upacara keagamaan yang dilaksanakan oleh masyarakat etnik Bajawa bertujuan untuk keselamatan arwah orang yang mati tidak wajar dan keselamatan bagi anggota keluarga yang ditinggalkan. Keselamatan ini ditandai dengan penikaman atau pembunuhan terhadap setan yang terungkap dalam simbol yaitu batang pisang. Masyarakat etnik Bajawa yakin dan percaya bahwa dengan  melakukan ritual tersebut, maka bencana atau kematian yang tidak wajar (mata golo) tidak akan terjadi lagi atau menimpah keluarga tersebut.
2.1.2        Mata Golo
Mata Golo atau kematian tak wajar yang disebabkan akibat jatuh dari pohon, kecelakaan lalu lintas, tenggelam, dibunuh dan bunuh diri. Menurut etnik Bajawa, orang yang mati tidak wajar tidak di panggil oleh wujud tertinggi (Tuhan), melainkan mati disebabkan oleh setan (polo). Istilah ini dikenakan kepadanya, karena dia yang mengganggu anggota keluarga. Arwah orang yang mati tidak wajar akan mengganggu anggota keluarga, karena arwahnya masih merana dan akan terus mengganggu anggota keluarga yang masih hidup. Untuk mengembalikannya ke tempat yang layak harus diadakan ritual keo rado.
Menurut kepercayaan etnik Bajawa, orang yang meninggal tidak wajar mayatnya tidak boleh berada atau ditempatkan di dalam rumah. Jenazah tidak dimasukkan pada peti seperti mayat  lainnya tetapi,   dibuat dari pelupu dan mayatnya dimakamkan pada tempat tersendiri di luar pemakaman umum. Contoh ini hanya menegaskan bahwa kematian seseorang yang tidak wajar diyakini akan membawa bencana bagi orang lain. Maka untuk mengatasi hal itu, harus dilakukan ritual keo rado (tolak bala/ pembersihan).
Upacara penguburan melalui beberapa proses: 1) Pai api (menjaga mayat),  tau tibo (upacara mencari penyebab kematian), keo rado (upacara pembersihan), tane (menguburkan mayat) dan e lau kora (membuang seluruh peralatan yang dipakai ke arah matahari terbenam). Berdasarkan tiga proses ritual tersebut, yang akan dibahas secara khusus adalah ritual keo rado (upacara pembersihan).
2.2  Tuturan Ritual Keo Rado
Ritual Keo Rado terdiri dari tiga tahap yakni: 1) tahap Pa’i tibo (membuat ramalan); 2) tahap Ema Tana Ine (‘bapak menanyai ibu)’, dan Ike pebha dan Wela polo (potong setan). Setiap tahap mempunyai tuturan yang dituturkan oleh tua adat (mosalaki).
2.2.1  Tahap Pa’i Tibo ‘Membuat Ramalan’
Tahap pa’i tibo merupakan tahap awal ritual keo rado. Pada tahap ini, tua adat akan mencari tahu penyebab dari kematian tersebut dengan mengucapkan tuturan sebagai berikut :
 Kami Dia we tana
 ‘Sekarang kami bertanya’
 Miu ma’e da dela
  pada para leluhur’
 Punu mumu
 ‘Ungkaplah dengan mulut’
  Poza lema
‘Nyatakan dengan lidah’
 Wi punu da kedhi banga
 “‘Ungkapkan kepada anak-anak’
 Ano zuwu
 ‘Yang tetap mencari’
 Ano kede ano denge
 ‘Yang tetap setia mendengar’
Selain tuturan yang dituturkan yang ditujukan pada leluhur, kepada setan (polo) juga ditanyakan sebagai berikut :
 Polo punu kau go lobo apa
‘Setan, katakanlah apa penyebabnya’
Maksud atau arti  dari tuturan tersebut yakni, kami datang untuk bertanya kepada para leluhur yang akan diungkapkan dengan mulut dan lidah, katakan kepada kami apa yang kami cari agar kami dapat mengetahui dan mendengar dan kepada setan tentang penyebab kematian.
Berdasarkan tuturan adat pada tahap pa’i tibo (membuat ramalan) terdapat nilai-nilai yang terkandung dalam tuturan tersebut. Nilai-nilai yang terkandung dalam tuturan pa’i tibo antara lain :
1.    Nilai Kudus /Nilai Religius
Nilai kudus / nilai religius : yang berhubungan dengan Tuhan yang kudus dan memiliki sifat absolut, sehingga dilakukan pemujaan atau penghormatan kepada-Nya. Dalam perspektif kebudayaan nilai ini secara lebih spesifik dikaitkan dengan agama sebagai tindakan simbolik. Agama berhubungan erat dengan ritual karena ritual itu sesungguhnya merupakan bagian dari perilaku beragama (Dhavamony,1995: 167). Nilai religius merupakan hal pokok atau inti dari kehidupan beragama. Nilai religius secara terperinci dapat dipaparkan sebagai berikut.
1.1  Nilai pemujaan
Nilai pemujaan pada konteks membuat ramalan yaitu memuja para leluhur yang telah meninggal. Hal ini diketahui bahwa para leluhur walaupun telah meninggal namun, masih tetap berada di sekitar/ sekeliling kita menurut kepercayaan etnik ini. Para leluhur yang telah  mengetahui segala sesuatu yang sedang terjadi dalam hidup ini. Hal ini dapat terlihat pada tuturan berikut ini :
Kami Dia we tana
Miu ma’e da dela
 Punu mumu
 Poza lema
 Wi punu
da kedhi banga
 Ano zuwu Ano kede ano denge
Sekarang kami bertanya’
Kamu para leluhur’‘
Ungkapan dengan mulut’
Ungkapkan kepada anak-anak’
Nyatakan dengan lidah’‘
Yang tetap mencari’
Yang tetap setia mendengar’
1.2  Nilai Penghormatan
Nilai penghormatan adalah mengormati para leluhur yang telah meninggal. Budaya masyarakat setempat tetap percaya pada para leluhur walaupun sudah menganut agama, karena hal tersebut merupakan suatu budaya atau warisan dari para leluhur. Nilai penghormatan dapat dilihat dalam tuturan berikut :
Kami Dia we tana
Miu ma’e da dela
Punu mumu
Poza lema
Sekarang kami bertanya
Kamu para leluhur
Ungkapan dengan mulut
 Nyatakan dengan lidah
2.2.2        Tahap Ema Tana Ine Bapak Menanyai Ibu
Ritual  ema tana ine dilaksanakan berikutnya, sebelum matahari. Apabila para leluhur menyetujui, maka setiap  hari  akan diawali dengan suatu dramatisasi yang merupakan suatu demonstrasi dari beberapa gabungan struktur perkawinan. Ritual ini disebut ema tana ine (bapak menanyai ibu) yang juga berarti mengucapkan selamat datang kepada setiap pasangan perkawinan yang sudah meninggal dari berbagai kelompok suku, yang sebetulnya sudah berdiam dalam rumah adat, tetapi telah meninggal karena mata golo. Mereka diundang untuk hadir kembali secara ritual. Dalam ritual ine tana ema tuturannya dapat dipaparkan sebagai berikut.
Ine…Ine
 ‘Ibu…Ibu’
Miu ulu nga tutu toro
 ‘Kepalamu terikat kain merah’
Ine miu da gesso apa?
 ‘Ibu apa penyebabnya
Ine…ine
 ‘Ibu…Ibu’
Go bhara da ike beke
 ‘Yang putih membelenggu dada’
Da moe de da moe de
 ‘Apa sebab
Ine…ine miu punu si
ibu katakanlah’
Miu po si
 ‘Berbicaralah’
Kami wenga to’o
 ‘Kami akan mulai’
Miu posa si
 ‘Bicaralah’
Miu punu si
 ‘Katakanlah’
 Kami nenga dhuju puru pu’u
 ‘Kami hendak mengakhiri semuanya’
Arti tuturan tersebut adalah : Ibu.... kepalamu terikat kain merah, apa alasanya? Apa sebabnya kain putih membelenggu dada, katakanlah, sehingga kami dapat memulainya dan dengan cepat untuk mengakhiri semuanya.
Dalam ritual tersebut tua adat tidak hanya bertanya pada para leluhur wanita tetapi juga ditujukan pada leluhur laki-laki untuk menanyakan penyebab kejadian tersebut. Tuturannya dapat dipaparkan sebagai berikut.
  Ema…Ema
 ‘Bapak…bapak’
  Kami  ta da toro
 ‘Kami berselempang merah’
  Kami wenga keo wenga rado
 ‘Kami hendak membuat pembersihan
  Ema…ema
 ‘Bapak…bapak’
  Le bhara da ike beke
 ‘Yang putih membelenggu dada’
  Da wa’i da lau
 ‘Seorang yangberbaring di sana dengan kaki terulur’
  Dia da tuka lenga zeta
  Dengan perut yang menghadap ke atas’
 Mai si
 ‘Datanglah’
Kita wenga penga peo
‘Kita hendak membuat pembersihan
 ‘Ikutlah membuang’
Kita nga penga podhu
 duduklah bersama-sama
We ulu mogo
“Jadi kepala sama”
 Kita wenga dhoro
 ‘Kita akan keluar’
 Kita wenga keo wenga rado
 ‘Kita hendak membuat keo rado’
 Mai si
 ‘Datanglah’
Maksud dari tuturan tersebut adalah:  bapak yang berselempang merah dan memakai kain putih yang membelenggu dada, sekarang kami akan membuat pembersihan untuk orang yang terbaring dengan kaki terulur dan perut yang menghadap ke atas. Datanglah, duduk bersama-sama dalam satu keluarga dan kita akan keluar untuk membuat keo radopembersihan.
Seluruh anggota keluarga  yang masih mempunyai hubungan perkawinan berkumpul bersama, maka sebuah solusi  harus segera ditemukan agar jiwa orang yang telah meninggal itu pun dapat dipanggil untuk  berpartisipasi dalam ritual tersebut. Hal ini dilakukan dengan membuat tobo muku yang digantungkan pada sebatang bambu yang berdiri (taga tobo muku) di luar rumah. Selanjutnya tua adat memanggil arwah para leluhur dengan seruan sebagai berikut:
Ine…ine
 ‘Ibu…...
Sa susu mite
“Yang ayam hitam”
Kau ngodho…kau ngodho
 ‘Datanglah…datanglah’
Ema…ema
 ‘Bapak…....
Sa lalu toro
ayam jantan merah’
Kau ngodho…kau ngodho
 ‘datanglah…datanglah’
Arti atau maksud tuturan tersebut adalah : ibu...kamu seperti ayam betina hitam, datanglah...datanglah. Bapak ....... kamu seperti ayam jantan merah, datanglah...           
Berdasarkan tuturan data tahap ema tana ine, terkandung nilai-nilai sebagai berikut:
2.2.2.1 Nilai persaudaraan
            Esensi dasar nilai persaudaraan ini  merupakan refleksi dari kesadaran bahwa manusia diciptakan sebagai satu saudara yang secara alamiah memerlukan manusia lain dalam kebersamaan dan kekeluargaan sebagai perwujudan citra rasa kemanusiaan. Nilai tersebut terdapat dalam kutipan tuturan berikut ini.
Ine…Ine
Miu ulu nga tutu toro
 Ine miu da gesso apa?
Ine…ine
Go bhara da ike beke
Da moe de da moe de
Ine…ine miu punu si
Miu po si
Kami wenga to’o
Miu posa si
 Miu punu si
Kami nenga dhuju puru pu’u
‘Ibu….....
‘Kepalamu terikat kain merah’
‘Ibu alasan apa?’
 Ibu........
 Yang putih membelenggu dada’
‘Apa penyebabnya
‘Ibu… katakanlah’
‘Berbicaralah
‘Kami akan mulai
 Bicaralah’
‘Katakanlah
‘Kami hendak mengakhiri semuanya’
Tuturan yang telah dipaparkan disampaikan kepada arwah atau semua leluhur yang telah meninggal. Menurut kepercayaan etnik ini adalah bahwa walaupun seseorang  telah meninggal namun rasa persaudaraan tetap ada.
2.2.2.2  Nilai Keselamatan
Nilai keselamatan adalah suatu nilai yang dilakukan untuk menyelamatkan arwah serta keselamatan/pembersihan pada keluarga yang ditinggalkan agar dapat terhindar dari malapetaka atau kematian  yang tidak wajar. Hal tersebut dapat terlihat pada tuturan sebagai berikut.
 Kita wenga penga peo
‘Kita hendak membuat pembersihan
 ‘Ikutlah membuang’
 Kita nga penga podhu
 duduklah bersama-sama
We ulu mogo
“Jadi kepala sama”
 Kita wenga dhoro
 ‘Kita akan keluar’
 Kita wenga keo wenga rado
 ‘Kita hendak membuat pembersihan
 Mai si
 ‘Datanglah’
         
Data tersebut menunjukkan tua adat dan keluarga  akan mengadakan ritual keselamatan bbaik bagi arwah yang meninggal maupun bagi keluarga yang ditinggalkan.
2.2.3 Tahap Ike Pebha ‘Mengikat Erat’ dan Wela Polo ‘Membunuh Setan’
Ritual ini merupakan ramalam tentang mata golo ( kematian tidak wajar) dengan tuturan sebagai berikut :
 Dia go ike mu dhenga
 ‘Mari,ikat seerat-eratnya’
                  Pewa mu dhenga
 ‘Pukul sekuat-kuatnya’
 Kami wenga tana
 ‘Kami hendak bertanya’
 Dia kami wenga le kezu pu’u
 ‘Kami hendak mencungkil sampai akar’
 We luli mema
 ‘Agar langsung terpulih’
Kami we gugu gazi
 ‘Kami hendak mengejarnya’
Bodha we mara pugu
 ‘Sampai dia terantuk’
Bodha we dhuju
 ‘Sampai ditemukan’
Ngi’i go tobo golo
 ‘Karena tubuh yang meninggal ini’
  Kami bodha we luli
 ‘Kami harus memulihkannya’
 We wela mata
 ‘Untuk dibunuh’
 Kau gubhu sewidha
 ‘Kau tutup satu’
 Lenga sewidha
‘Kami akan bicara sepatah kata di sini’
Wi la’a wela polo
‘untuk pergi membunuh setan’
                    Gazi bodha we mata golo        
                    Dia harus mati tidak wajar
 Sama ne’e
“Sama dengan dia”
‘Sama seperti dia
 Ma’e re Ma’e weje
                   “Jangan sembunyi jangan menipu’
                    Kami wenga wela
                 ‘Kami akan membunuh’
Maksud atau arti dari tuturan  tersebut  yaitu : mari kita ikat seerat-eratnya dan memukul sekuat-kuatnya dan kami akan bertanya dan mencari sampai akar permasalahan. Sebelum kami pergi membunuh setan, kami akan berbicara sepatah kata di sini dan dia harus mati seperti dia yang mati tidak wajar ini. Katakan sejujurnya kepada kami agar kami bisa membalaskan dendam kami agar semua terpulihkan. Kami akan mengejarnya sampai dia terantuk dan dia juga harus mati.oleh karena itu. Kami minta kau buka satu tutup juga satu.
Berdasarkan  data tuturan  tersebut terdapat nilai-nilai sebagai berikut.
2.2.3.1 Nilai Kesakitan
Nilai kesakitan merupakan suatu  sifat emosional atau rasa dendam yang dialami oleh manusia karena mengalami suatu sebab akibat perbuatan orang lain.  Nilai kesakitan dalam ritual ini yaitu ingin membalas dendam akibat suatu kematian tidak wajar. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan tuturan sebagai berikut.
We wela mata
Untuk dibunuh’
Kau gubhu sewidha
 Kau tutup satu’
 Lenga sewidha
                      Buka satu’
     Wi la’a wela polo
                     untuk pergi membunuh setan’
                    Gazi bodha we mata golo
                    Dia harus mati tidak wajar
 Sama ne’e
 Sama seperti dia
MAKNA TUTURAN RITUAL KEO RADO PADA MATA GOLO  
            Setiap tuturan memiliki makna tergantung pada setiap etnik. Dalam tuturan ritual kero rado pada mata golo terkandung makna sebagai berikut.
3.1 Makna Sosial
Makna sosial menggambarkan keterjalinan hubungan sosial dan kekerabatan antara masyarakat. Keterjalinan hubungan ini tercermin dalam upacara pembersihan. Makna ini terungkap pada kutipan kalimat berikut.
3.1.1 Makna kebersamaan
            Makna Makna kebersamaan merupakan suatu konsepsi cara pandang yang tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan individu atau kehidupan berkelompok dalam menjalani aktivitas kehidupannya sehari-hari karena manusia adalah makhluk sosial. Makna kebersamaan dapat diperhatikan dalam data teks SRJJ berikut ini
  Mai si
 ‘Datanglah’
 Kita wenga penga peo
 ‘Kita hendak membuat pembersihan
 ‘Ikutlah membuang’
 Kita nga penga podhu
    duduklah bersama-sama
Di sini gambaran duduk bersama tanpa memandang stratifikasi atau tingkatan dalam adat, dalam arti bahwa tua adat dan warga adalah satu untuk membuat upacara pembersihan.
3.1.2  Makna Budaya
Makna budaya menggambarkan bahwa etnik Bajawa Ngada  masih mengingat sastra lama yang secara tidak langsung menggambarkan eksistensi mereka pada zaman itu. Makna budaya ini diwariskan secara turun temurun oleh para leluhur  untuk membersihkan bencana atau malapetaka yang telah menimpa masyarakat pemilik budaya tersebut. Makna budaya terdapat dalam tuturan sebagai berikut.
Ine…ine
“Ibu......
Sa susu mite
 ‘Kamu ayam hitam’
Kau ngodho…kau ngodho
 ‘Datanglah…datanglah’
Ema…ema
“Bapa......
Sa lalu toro
ayam jantan merah’
Kau ngodho…kau ngodho
datanglah…datanglah’
Tuturan tersebut menggambarkan bahwa sebelum melaksanakan ritual keo rado, leluhur diundang untuk hadir bersama. Ibu disimbolkan dengan ayam hitam  karena kelembutan seorang ibu melindungi  dan menjaga anak-anaknya. Bapak disimbolkan dengan ayam jantan merah melambangkan keberanian, simbol kain merah yang digunakan laki-laki sebagai pelengkap pakaian adat dalam melakukan ritual.
Di samping itu juga terdapat tuturan sebagai makna budaya pada etnik tersebut adalah:
 Go bhara da ike beke ‘ Yang putih membelenggu dada’ juga sebagai makna budaya simbol kain pengikat dada ‘go bhara ‘yang putih’ yang melambangkan kelembutan dan kesucian. Sehingga dengan hati yang suci dan bersih penyebab kematian dapat terungkap.
PENUTUP
 Kematian mengakibatkan orang merasa kehilangan dan dapat membawa kesedihan pada setiap keluarga. Mata golo kematian tidak wajar membuat keluarga  dapat terlarut dalam kesedihan namun dapat mengakibatkan malapetaka. Menurut kepercayaan etnik Bajawa kematian tersebut adalah akibat dari perbuatan nitu (roh halus) yang mencabut secara paksa jiwa manusia. Untuk itu diadakan sutu ritual pembersihan atau keselamatan baik bagi yang arwah yang telah meninggal maupun keluarga yang ditinggalkan  agar tidak mendapat malapetaka yang sama yang disebut dengan keo rado.
 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar